Budidaya Lobster di GWD Banyuwangi Dengan Metode Resirkulasi

visfmbanyuwangi.com – Mahasiswa dan akademisi dari berbagai kampus di Indonesia bersama kelompok Nelayan, Pesona Bahari melakukan penelitian dan pengembangan Budidaya Lobster dengan metode resirkulasi di lokasi Budidaya Lobster Pantai Grand Watu Dodol (GWD) Banyuwangi.
Di sini terdapat Unit Percontohan Budidaya lobster, Badan Riset dan SDM Kelautan dan Perikanan, Balai Pelatihan dan Penyuluhan Perikanan Bangsring KKP.
Seperti diketahui, Perairan laut Banyuwangi telah dikenal sebagai salah satu penghasil lobster kualitas ekspor. Salah satunya ada di Pantai Grand Watu Dodol tersebut. Bahkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tertarik mendirikan lobster center di Banyuwangi.
Mahasiswa semester 3 Magister Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, M. Chusman Ma’arif mengaku tengah melakukan penelitian di area Budidaya Lobster Pantai Grand Watu Dodol dengan mengembangkan melalui metode resirkulasi.
Dalam metode ini berbagai jenis benih lobster (benur) berukuran 0,4 hingga 0,6 gram yang sudah memiliki pigmen warna ditempatkan di bak-bak sirkulasi untuk dibudidaya.
“Metode ini sesuai Permen KP Nomor 17 Tahun 2021, tentang segmentasi usaha budidaya lobster di Indonesia,” ujar mahasiswa penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan.
Pria yang akrab disapa Arif tersebut mengatakan, satu bak air bisa diisi 36 benih lobster. Namun satu lobster dan lainnya harus dipisah menggunakan pipa karena sifat kanibalismenya. Di unit tersebut terdapat sekitar 24 bak yang berisi air laut.
“Selama masa budidaya harus terus dikontrol suhunya, sanitasnya, disolved oxygen, dan lainnya,” kata Arif.
“Untuk benih lobster, banyak didapat dari tangkapan nelayan di perairan Banyuwangi,” imbuhnya.
Benih lobster tersebut berada di bak-bak resirkulasi selama 4 hingga 5 bulan untuk mencapai target penambahan ukuran menjadi 5-10 gram. Setelah dari bak resirkulasi, lobster-lobster tersebut dipindah ke keramba-keramba lobster dan di budidaya di dasar laut.
Pembesaran di keramba dasar laut sekitar lima bulan untuk mencapai ukuran 150 hingga 200 gram. Untuk bisa dipanen, ukuran lobster pasir minimal 150 gram dan jenis lainnya 200 gram. Satu keramba bisa menghasilkan 40 kilogram lobster. Sementara di GWD terdapat enam keramba.
Arif mengatakan, sekali panen bisa mencapai 2,5 hingga 3 kuintal. Untuk ukuran 150 hingga 200 gram, harga antara Rp 400.000 hingga Rp 500.000 satu kilogramnya.
“Harga bisa lebih tinggi apabila ukuran lobster lebih besar. Biasanya lobster-lobster siap panen itu diekspor ke Singapura,” tutur Arif.
Achmad Subijakto, Kepala Balai Pelatihan dan Penyuluhan Perikanan Bangsring, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), mengatakan lobster dari Banyuwangi diakui memiliki kualitas ekspor.
“Dibanding daerah penghasil lainnya, perlu diakui lobster hasil budidaya dari perairan Banyuwangi memiliki kualitas yang bagus. Lobsternya fresh dan kualitasnya ekspor,” ungkap Toto, panggilan akrab Achmad Subijakto.
Ia menjelaskan, nelayan Banyuwangi berhasil melakukan budidaya lobster di perairan utara.
“Hasilnya cukup mengagetkan kami karena ternyata kualitasnya mutu alam. Jadi meskipun budidaya, kualitasnya seperti tangkapan dan layak ekspor. Produksinya meningkat tajam. Bahkan sudah rutin ekspor ke Singapura, Taiwan, Hongkong, dan berbagai negara lainnya,” papar Toto.
“Itulah yang membuat KKP akan mendirikan lobster center di Banyuwangi,” imbuhnya.
Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani mengatakan potensi lobter yang sangat besar ini akan lebih optimal bila dimaksimalkan.
“Apalagi dengan bantuan dari pemerintah pusat dengan menjadikan Banyuwangi sebagai pusat penelitian lobster dan nelayan Banyuwangi juga akan diuntungkan,” tuturnya.
Bupati Ipuk mengaku sangat mendukung, karena bagi pihaknya ini adalah bagian dari pembangunan yang bervisi sustainability (berkelanjutan).
“Selaras dengan apa yang ingin dikembangkan Banyuwangi selama ini,” pungkasnya.